Search
Close this search box.
Defending Paradise

Kerusakan Alam Picu Bencana Ekologis

Tulisan Terkait
Hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit di Maluku Utara. (Doc. EcoNusa/Kei Miyamoto)

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum juga menunjukkan penurunan kasus meski vaksinasi telah dimulai, pada awal 2021 ini Indonesia juga menghadapi berbagai bencana alam di banyak wilayah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 221 bencana yang terjadi hingga 26 Januari 2021. 

Bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung mendominasi kejadian bencana di Tanah Air, di samping juga bencana vulkanik, gempa bumi, dan gelombang pasang. Kejadian bencana tersebut setidaknya mengakibatkan ratusan jiwa meninggal dunia, ribuan luka-luka dan lebih dari 1,5 juta jiwa mengungsi. Selain faktor cuaca ekstrim sebagai dampak dari perubahan iklim global dan aktivitas alam, banyak pihak menilai berbagai bencana alam juga dipicu oleh kerusakan alam. 

Kerusakan alam

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan, banjir di Kalimantan Selatan disebabkan oleh curah hujan ekstrim dan penurunan tutupan lahan hutan. Padahal vegetasi kerapatan hutan, terutama di daerah hulu semestinya berfungsi sebagai penyimpanan air. Banjir yang merendam 11 kabupaten/kota  ini menimbulkan dampak kerugian yang besar.

Di Papua, banjir dan tanah longsor juga melanda Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Jayapura, Papua pada 21 Januari 2021 silam. Puluhan rumah penduduk, rumah bupati, dan kebun-kebun warga terendam banjir serta mengalami kerusakan. Ada dua faktor yang dinilai menyebabkan Paniai rawan banjir dan longsor saat hujan deras, seperti dikutip dari kompas.id. Menurut Kepala Polres Paniai Ajun Komisaris Besar Naomi Giay, minimnya resapan air dan sampah yang menumpuk di saluran drainase menjadi faktor yang memperparah banjir. “Kami berharap pemda setempat menertibkan warga yang membuang sampah ke saluran drainase. Selain itu, pembangunan rumah juga harus memperhatikan aspek lingkungan,” kata Naomi. 

Sedangkan, Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah V Jayapura memaparkan bahwa bencana di Paniai tak hanya dipicu oleh curah hujan, melainkan juga kondisi tanah yang labil serta dampak dari berubah atau beralihnya fungsi lahan hutan. “Dikhawatirkan hujan dengan intensitas sangat lebat di kondisi tanah yang labil dapat memicu bencana hanya dalam waktu singkat,” ujar Kepala Subbidang Pelayanan Jasa BBMKG Wilayah V Jayapura, Ezri Ronsumbre.

Alih fungsi lahan dan hilangnya tutupan hutan

Alih fungsi lahan hutan menjadi area industri, seperti perkebunan sawit dan tambang, industri kayu, pembangunan infrastruktur, dan eksploitasi berlebih tak dapat dipungkiri menjadi salah satu penyebab berkurangnya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsinya, termasuk dalam menyerap air. 

Menurut data KLHK, pada periode 2018-2019, total pembukaan hutan di seluruh Indonesia mencapai 462.458,5 hektar, meningkat dari periode sebelumnya pada 2017-2018 yaitu 439.439,1 hektar. Tanah Papua yang tutupan hutannya terluas di Indonesia mengalami kehilangan hutan seluas 11.212,2 hektar di Provinsi Papua dan 5.296,1 hektar di Provinsi Papua Barat. Tim riset EcoNusa menemukan bahwa tingkat deforestasi 8,94% di Tanah Papua ada di dalam area konsesi perkebunan kelapa sawit pada periode 2001 hingga 2018. 

Tanaman kelapa sawit berakar dangkal, sehingga kemampuan menyimpan air tak cukup baik jika dibandingkan pohon lain. Saat hujan datang, air tidak tertahan namun bergerak ke lapisan tanah di bawah zona perakaran. Jika lahan merupakan lahan datar dengan muka air tanah yang dangkal, maka kondisi ini menyebabkan genangan dan banjir, sedangkan air yang tersimpan lebih sedikit. Hal tersebut seperti dipaparkan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Divisi Konservasi Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, IPB

Sedangkan berdasarkan analisis tim riset EcoNusa, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku total menempati  area seluas 11,39 juta hektar. 86% dari total luas IUP tersebut berada di hutan alam primer. Jika hutan di seluruh area pertambangan ini dibuka, maka kemungkinan 10% hutan alam primer di Indonesia, atau setara 149 kali luas Provinsi DKI Jakarta, akan hilang dan kehilangan fungsinya. Padahal fungsinya sebagai penyimpan stok karbon, penyeimbang lingkungan, serta penyerap air. 

Editor: Leo Wahyudi 

Artikel Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved