Search
Close this search box.
EcoStory

Relasi Manusia dan Alam di Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Direktur YAPKEMA, Hanok Herison Pigai, Putri Pariwisata Nusantara Papua 2021, Yokbet Merauje, dan Jenny Karay, influencer media sosial asal Papua dalam acara MACE – Kenali Papua: Alam, Budaya, dan Rasa yang digelar Econusa pada Rabu (31/3/2021).

Konsep kehidupan masyarakat di Tanah Papua yang menempatkan hutan sebagai ibu membuat masyarakat di Tanah Papua menganggap tanah, air, dan hutan yang ada di sekeliling mereka sebagai harta tak ternilai harganya. Masyarakat berprinsip, jika tidak melindungi harta, itu sama saja dengan tidak melindungi diri sendiri. Ada relasi kuat antara kehidupan masyarakat di Tanah Papua dengan alamnya. 

Jenny Karay, influencer media sosial asal Papua, mengatakan bahwa alam ibarat teman dan mitra bagi masyarakat di Tanah Papua. Alam dan manusia saling beririsan dan tidak dapat dipisahkan. Manusia bergantung pada alam dan alam memberikan apa saja yang dibutuhkan manusia. Oleh karenanya, masyarakat di Tanah Papua memiliki cara tersendiri untuk membangun kedekatan dengan alamnya.

“Alam bukanlah musuh yang harus dieksploitasi terus-menerus sampai pada akhirnya alam tidak bisa lagi mendukung kehidupan manusia. Ketika kita masuk ke pedalaman-pedalaman Papua, di sana kita bisa melihat bagaimana kehidupan orang-orang (masyarakat adat) demikian menjaga dan menghormati alam di sekitar mereka,” kata Jenny dalam acara MACE – Kenali Papua: Alam, Budaya, dan Rasa yang digelar Econusa pada Rabu (31/3/2021).

Baca juga: Food Estate dan Nasib Keanekaragaman Hayati di Tanah Papua

Senada dengan Jenny, Putri Pariwisata Nusantara Papua 2021, Yokbet Merauje, mengatakan  alam dan manusia Papua sampai kapanpun memang tidak akan pernah bisa dipisahkan. Manusia dan alam selalu menemukan kata connection. Mereka selalu terhubung. Bahkan kedekatan itu membuat manusia di Papua bisa mengenali cuaca dari tanda-tanda di alam jauh sebelum kehidupan modern dan teknologi ada. 

“Masyarakat Papua bahkan sudah bisa memprediksi cuaca dari tanda-tanda alam jauh sebelum ada BMKG. Sejak kecil, orang tua saya memberitahu tanda-tanda alam itu. Jadi saya pun ikut belajar kebiasaan-kebiasaan dari tanda-tanda alam itu. Contohnya, kalau pada malam hari udara terasa dingin, maka keesokannya cuaca akan panas terik. Sebaliknya, jika pada malam hari udara terasa panas, maka kemungkinan akan turun hujan keesokannya. Sejak kecil mama juga mengajarkan untuk selalu menghormati alam. Kalau kita sedang pergi ke hutan untuk cari kayu bakar, mama selalu bilang ketika di dalam hutan kita tidak boleh berteriak (untuk menghormati hutan dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya),” kata Yokebet. 

Direktur YAPKEMA, Hanok Herison Pigai, meyakini bahwa alam juga memiliki arti penting bagi masyarakat adat karena merupakan sumber penghidupan bagi mereka.   Ia menyontohkan dengan kopi yang menjadi salah satu primadona hasil alam Papua. Terbukti, kopi asal Tanah Papua merupakan salah satu kopi terbaik di Indonesia bahkan di dunia. Hingga saat ini, masyarakat Papua memproduksi dua jenis kopi, yaitu arabika dan robusta. Hasil kopi yang paling terkenal dari Papua adalah kopi arabika moanemani. 

Baca juga: Pengelolaan Wisata Berkelanjutan di Pantai Hamadi dan Holtekamp

Ia juga menjelaskan bahwa kenikmatan kopi amat tergantung dari alam. Faktor-faktor alam yang membentuk cita rasa kopi antara lain benih, iklim, dan tanah. “Cita rasa kopi di setiap daerah pasti memiliki perbedaan tergantung iklim di masing-masing daerah tersebut. Kopi yang ditanam di tanah merah dan di tanah hitam pun akan menciptakan cita rasa yang berbeda,” tuturnya. 

Hanok juga menambahkan bahwa warisan alam dan budaya di Tanah Papua saat ini amat bergantung pada kemauan generasi muda untuk menjaga alam dan budaya Tanah Papua dengan cara-cara yang kreatif. Dengan demikian, mereka dapat melindungi alam Papua dan memajukan Tanah Papua sekaligus. 

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved