Search
Close this search box.
EcoStory

Menjaga Karbon Biru Indonesia

Bagikan Tulisan

Pengembangan kawasan pesisir dan daratan secara terpadu merupakan salah satu tahap awal dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yang terjadi justru sebaliknya, pembangunan terfokus di daratan. Meski demikian, pengelolaan ekonomi kawasan pesisir harus tetap mengindahkan pemangku kepentingan terbesar, yakni masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Guru Besar Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,  M. Baiquni, mengatakan, sebelum Indonesia mencanangkan diri sebagai poros maritim dunia pada 2014, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X telah mengenalkan paradigma Among Tani Dagang Layar (ATDL) sebagai landasan pembangunan. Melalui paradigma tersebut, pemerintah DI Yogyakarta berupaya mengintegrasikan pembangunan dengan aspek maritim. 

“Laut sebagai sumber penghidupan dan agrobisnis di bidang kelautan. Dengan ATDL diharapkan terjadi keseimbangan darat dan laut. Perikanan menjadi kunci untuk masa depan. Untuk mencapai itu, warisan budaya dan teknologi harus dipertautkan,” kata Baiquni dalam diskusi daring Sail to Campus bertajuk “Among Tani, Dagang Layar” pada Selasa (30/3/2021).

Baca juga: Rilis Video Musik, Slank Serukan Penyelamatan Hutan

Kawasan pesisir dan laut memegang peran penting, baik dari sisi konservasi maupun ekonomi. Ekosistem mangrove misalnya, berfungsi sebagai proteksi terhadap banjir dan tsunami, erosi pesisir, pemijahan perikanan, penyaring kotoran daratan untuk menjaga kesehatan terumbu karang, serta pembiayaan berkelanjutan dari karbon biru. 

Blue Carbon Science Director, Asia Pacific – Conservation International, Barakalla Robyn, mengatakan bahwa kawasan pesisir dan laut menyimpan karbon lebih tinggi dibanding kawasan terestrial. Kawasan pesisir dan laut menyimpan karbon lebih tinggi di dalam tanah atau below ground carbon. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan pesisir dan laut berperan penting dalam mengendalikan laju krisis iklim yang tengah terjadi.

Menurut Barra, sapaan Barakalla, Indonesia memiliki peran penting dalam intervensi restorasi dan konservasi kawasan mangrove. Indonesia menempati peringkat pertama negara yang memiliki kawasan mangrove terluas dengan lebih dari 3 juta hektare atau 22 persen dari luasan mangrove global. Selain itu, mangrove berpotensi menyimpan seperempat karbon global. 

Baca juga: Komunitas Umat Beragama Berperan Penting Melindungi Bumi

“Kalau kita bicara mitigasi, Indonesia harusnya berperan banyak dalam gerakan pengendalian krisis iklim. Dengan potensi yang dimiliki mangrove, kita perlu menyuarakan perlindungan ekosistem mangrove. Deforestasi mangrove paling banyak dari akuakultur atau tambak. Itu terjadi di Indonesia bagian tengah dan mengarah ke timur. Kalau di bagian barat ancamannya datang dari ekspansi perkebunan,” ujar Bara.

Dalam menyuarakan pentingnya keberadaan ekosistem di kawasan pesisir dan laut, kaum muda memegang peran krusial. Populasi kaum muda sebagai bonus demografi dapat mendorong para pembuat kebijakan agar tak mengambil sikap yang bertolak belakang dengan upaya konservasi dan restorasi. Melalui media sosial, kaum muda dapat dengan mudah menyebarkan kepedulian mereka kepada dunia.

Noviana Safitri, pemengaruh atau influencer, memanfaatkan media sosial untuk mengajak orang lain mencintai tanaman dengan menjadi plant parent. Konsep plant parent dikenal oleh kalangan milenial dengan mengasuh tanaman layaknya menjadi orang tua. Menurut Noviana, plant parent membuat dirinya melatih kesabaran dan menimbulkan kepedulian lebih terhadap lingkungan. 

Baca juga: Puasa, Tingkat Konsumsi Berkurang?

“Media sosial itu sangat penting apalagi kalau kita aktif dan konsisten. Kalau kita lagi walk the talk, dengan menjadi plant parent misalnya, aku suka update ke media sosial. Jadi banyak orang yang terpicu untuk jadi plant parent juga,” ucapnya.

Editor: Leo Wahyudi & V Arnila Wulandani

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved