Search
Close this search box.
EcoStory

Memutus Rantai Panjang Distribusi Perikanan

Bagikan Tulisan
Nelayan tradisional di Kampung Matemani, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat (Yayasan EcoNusa/Kei Miyamoto)

Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang 108.000 kilometer. Tak pelak, kekayaan sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia merupakan “surga” yang tersebar di bawah perairan. Namun fakta ini tak serta merta membuat nelayan dianggap sebagai profesi yang menjanjikan secara ekonomi. Apalagi kesenjangan akses informasi tak jarang membuat nelayan sering kali tak mendapatkan hasil yang layak atas komoditas tersebut.

Berdasarkan Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017, pendapatan nelayan mengalami kenaikan tiap tahunnya. Namun jumlah nelayan selalu fluktuatif. Dapat diambil contoh, pada 2014, pendapatan rata-rata nelayan sebesar Rp 2,15 juta per bulan. Sempat turun pada 2015 menjadi Rp 1,9 juta rupiah per bulan. Pendapatan rata-rata nelayan kembali naik pada dua tahun berikutnya yakni tahun 2017 dan 2017, yaitu menjadi Rp 2,1 juta per bulan dan Rp 2,7 per bulan.

Di sisi lain, jumlah nelayan pernah mengalami penurunan drastis. Selama satu dekade, sejak 2003 hingga 2013, rumah tangga nelayan turun hingga 50 persen, yakni dari 1,6 juta menjadi 800 rumah tangga nelayan. Fakta tersebut menjadi ironi yang terhampar di sepanjang garis pantai negara maritim.

Rantai distribusi hasil tangkapan komoditas perikanan teramat panjang sebelum sampai di meja konsumen. Hal ini membuat perbedaan harga yang cukup signifikan dari hulu ke hilir distribusi komoditas. Keuntungan tersebut dinikmati oleh pengepul di tingkat antara yang sekedar mengandalkan informasi.

Pemanfaatan teknologi untuk nelayan

Menyadari hal itu, Indraka Fadhillah bersama Farid Naufal Aslam dan Utari Octavianty berkeinginan membuat aktivitas ekonomi di pesisir menjadi lebih terbuka. Mereka membuat aplikasi yang memungkinkan nelayan mendapatkan pilihan pasar lebih luas. Mereka mendirikan PT. Aruna Jaya Nuswantara pada 2016.

Baca juga: Normal Baru di Laut Indonesia

“(Aktivitas ekonomi) pesisir sebetulnya bisa terbuka juga untuk masyarakat luas dan distribusi itu bisa terjadi di pesisir. Kita bisa memanfaatkan teknologi informasi,” kata Indraka, Co-Founder dan Chief Operating Office Aruna, saat dihubungi EcoNusa.

Provinsi Kalimantan Timur menjadi lokasi pertama Aruna untuk membantu pemberdayaan nelayan di Kabupaten Balikpapan. Tak seperti nelayan di Pulau Jawa, lokasi tersebut dipilih karena banyaknya nelayan tradisional dan minimnya akses pasar untuk memasarkan ikan. Kabupaten Berau dipilih menjadi lokasi kedua dengan kondisi yang serupa dengan Balikpapan. Hingga kini, terdapat 16 lokasi dengan lebih dari 300 nelayan mitra Aruna di seluruh Indonesia.

Aruna bekerja sama dengan penduduk lokal untuk mencatat hasil transaksi dengan nelayan, sebab belum semua nelayan terbiasa menggunakan aplikasi digital. Aruna menyebut mereka dengan local heroes yang berasal dari keluarga nelayan. Tak hanya bertugas sebagai perantara Aruna dengan nelayan, jawara lokal itu juga memiliki tanggung jawab mengembangkan kapasitas nelayan dalam menjaga kualitas hasil perikanan. Kepemimpinan menjadi syarat utama, sebab mereka akan bertanggung jawab di setiap lokasi dan berhadapan langsung dengan nelayan.

Hasil transaksi dengan nelayan dicatat dan disimpan di dalam peladen (server) penyimpanan data yang terintegrasi dengan data katalog niaga-el (e-commerce) dan lokapasar (marketplace). Terdapat 24 jenis produk perikanan yang ditawarkan di laman Aruna dan distributor di berbagai tempat.

Teknologi informasi membuat komoditas perikanan dapat dijual hingga ke luar negeri. Pencarian kata ‘ikan’, ‘beli ikan’, atau ‘fish’ di mesin pencari terhubung dengan produk perikanan Aruna. “Dari situ mereka sadar penjualan ikan di Indonesia sudah online,” tutur Utari, Director General Aruna. Ia meyakini bahwa teknologi informasi memungkinkan produk Aruna diterima pembeli dari Amerika, China, dan Singapura.

“Saat ini kita tidak buka untuk masyarakat umum. Karena kita belum (bisa) supply semua itu. Kekuatan dari sisi supply dan pendataan nelayan dulu yang sudah kita mulai digitalisasi,” ujar Indraka.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Tak Prioritaskan Keberlanjutan Perikanan dan Kelautan

Kehadiran Aruna di berbagai tempat menjadi “duri” dalam sistem distribusi hasil perikanan yang telah terjalin sejak lama. Teknologi informasi memungkinkan Aruna melacak harga pasar di berbagai tempat. Dengan demikian, harga beli hasil perikanan yang ditawarkan kepada nelayan menjadi lebih tinggi dari biasanya. Kondisi ini tentu saja memotong “kue” yang sebelumnya dinikmati oleh para pengepul di berbagai tingkatan.

Akibatnya, muncullah gesekan antara Aruna dan pengepul. Para pengepul kehilangan pelanggan karena mereka tak bisa mengikuti harga jual yang ditawarkan Aruna kepada nelayan. “Semua nelayan jual ke kami. Akhirnya pengepul datang dan menyuruh kami keluar. Kami ajak kolaborasi. Mereka bisa jual juga ke kami. Mereka senang juga. Mereka tidak perlu repot mengirim ikan sedangkan pembayarannya ditunda,” papar Indraka.

Menurut Indraka, pengepul tingkat satu yang langsung berhubungan dengan nelayan tak banyak mengambil keuntungan dari nelayan. Margin harga yang terlampau jauh terjadi pada pertengahan rantai distribusi. Pengepul tingkat satu, kata Indraka, juga berperan sebagai “pahlawan” nelayan dengan membina nelayan dan mengelola hasil perikanan.

Pengembangan kapasitas nelayan

Selain margin harga, pengembangan kapasitas nelayan menjadi salah satu pekerjaan rumah yang menuntut untuk segera ditangani. Umumnya hal itu terjadi pada nelayan di daerah terpencil atau jauh dari pusat kota. Dalam pengalaman Aruna, kondisi itu terjadi antara lain di Pulau Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah.

Baca juga: Jangan Biarkan Nelayan Merana karena Corona

Saat itu, para nelayan menangkap ikan sebanyak mungkin untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak. Mereka belum mengetahui kriteria ikan layak ekspor yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Dalam suatu kesempatan, Aruna mendapati ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) berada dalam satu timbangan yang sama dengan ikan kerapu lumpur (Epinephelus coioides). 

“Ikan kerapu sunu harga jualnya mencapai Rp 400.000 per kilogram. Kalau Imlek harganya bisa sampai Rp 1 juta per kilogram. Sayangnya nelayan belum tahu. Tercampur aja sama ikan kerapu yang jelek. Ada beberapa daerah dengan harga di nelayan tetap segitu. Diambil pengepul sampai di rantai distribusi di tengah yang menikmati margin. Di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara juga masih banyak yang seperti ini,” papar Indraka.

Indraka berharap pelaku bisnis perikanan dan kelautan bisa tersebar di berbagai daerah. Tak hanya terpusat di beberapa lokasi. Selain itu, keterbukaan akses informasi dapat membuat margin harga dapat menguntungkan banyak pihak. Tidak seperti sekarang ini yang hanya dinikmati sejumlah pihak tertentu. Dengan demikian, persaingan pasar menjadi lebih terbuka. Hal ini nantinya memberikan dampak positif bagi nelayan karena harga beli hasil tangkapan mereka akan lebih beragam.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved