Search
Close this search box.
EcoStory

Bermula Senso, Berakhir Swafoto (Bagian 1)

Bagikan Tulisan
Andi Leo, pengelola ekowisata, berpose di depan spot foto dengan later belakang Teluk Sarawandori di Kampung Sarawandori, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Mairizal Putra)

Suatu siang seorang pria menghentikan laju sepeda motornya di pinggir jalan di Kampung Sarawandori, Distrik Kosiwo, Kota Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, pada 2014. Orang itu berseragam hijau dengan tulisan ‘POLHUT” di atas saku kanannya. Dia geram setelah mendengar suara senso (chainsaw) atau gergaji mesin, yang meraung-raung. “Siapa yang tebang pohon?” tanya pria itu gusar.

Ternyata suara bising itu berasal dari seseorang yang sedang menebang pohon. Pertanyaan itu tak membuat ciut nyali si penebang pohon. Dari ketinggian, lelaki kecil bertubuh kekar balik bertanya, “Ko mau apa? Apa yang ko mau dari saya? Ko pu hutan jadi ko mau tegur saya?”

Karena lahir dan besar di daerah tersebut, si penebang merasa lahan, termasuk yang terkandung di dalamnya, adalah miliknya. Dengan demikian dia merasa punya hak untuk menebang pohon. “Kalau hari ini ko bisa kasih saya uang, saya berhenti. Itu saja. Saya hanya tunggu uang. Hari ini ko bisa antar uang Rp1.500.000, hari ini saya berhenti,” hardiknya.

Penggalan cerita di atas adalah pertemuan pertama Andi Leo Karubaba dengan petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Kepulauan Yapen yang berkantor tak jauh dari kediaman Andi Leo. Dia telah lama menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Termasuk membiayai pendidikan tiga adiknya. Pertama kali menebang pohon Andi Leo masih mengeyam bangku Sekolah Dasar sekitar tahun 90-an. Ia mulai sering menebang pohon pada tahun 2000-an, saat permintaan datang dari industri pembuatan tahu dan tempe serta proyek pengaspalan jalan Kota Serui.

Kayu untuk keperluan produksi seperti kayu Matoa dan kayu Merbau masuk dalam daftar pengecualian. Selain kedua jenis kayu tersebut, Andi Leo pernah mengubah pohon menjadi berbagai macam ukuran log. Harganya sudah ditentukan pasar. Satu mobil pikap berisi kayu log dihargai Rp300.000. Andi Leo pernah mengalami masa yang berat. Ketika itu, satu mobil pikap kayu dibeli dengan kisaran harga dari Rp50.000 sampai Rp 150.000. Tapi, dalam sehari, dia pernah mendapatkan uang hingga Rp2 juta setelah menjual empat pohon yang ia tebang.

“Saat kebutuhan mendesak, hutanlah yang bisa menjawab. Kami tebang kayu sampai jumlah uang yang kami perlukan. Misalnya biaya sekolah. Kalau kita butuh Rp2 juta, maka akan kami cari. Itu satu atau dua hari dapat. Sedangkan kalau kita mancing, tergantung cuaca dan ikan. Kalau tidak, ya paling cuma dapat Rp200.000-300.000 per hari. Kalau begini, maka akan butuh waktu satu sampai dua minggu, sedangkan kebutuhan mendesak,” ujar Andi.

Menjadi penebang kayu merupakan masa sulit dalam hidup Andi. Meski dapat menghasilkan uang besar dengan cepat, menebang kayu berisiko tinggi. Setidaknya butuh tiga orang dengan tugas berbeda. Satu orang menebang kayu dengan senso, sisanya memasang kuda-kuda untuk menjaga arah jatuhnya kayu.

Proses ini belum selesai. Mereka juga harus menggulingkan kayu log dari lembah hingga jatuh ke Teluk Sarawandori, menarik kayu dengan boat, dan membawa kayu log ke Kota Serui. Sialnya, terkadang kayu log jatuh ke laut dan mereka terpaksa menyelam. Ancaman lain datang dari hewan liar saat mereka nemebang kayu di hutan.

“Adik bapak pernah digigit ular berbisa. Kalau di sini kami meyebutnya ular Aranda. Warnanya silver, kepalanya berdiri seperti kobra,” tutur Andi.

Andi sadar menjadi penebang kayu tak layak untuk terus dilanjutkan. Selain risiko yang mengintai, Andi tak punya waktu lain selepas menjual kayu di Kota Serui. Untuk menebang kayu, ia harus berangkat jam 9 pagi ke hutan. Semua proses penebangan kayu hingga mendapatkan uang baru selesai pada jam 7 malam. Setiba di rumah, Andi hanya merasakan keletihan. Aktivitas lain yang mampu dilakukan Andi hanya makan malam, sebelum akhirnya terlelap dalam kepenatannya.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved