Search
Close this search box.
EcoStory

Lumbung Ikan Nasional (LIN) Maluku Perlu Pengelolaan Ketat

Bagikan Tulisan
Nelayan di Tulehu Ambon memindahkan ikan dari perahu penangkap ikan ke dalam wadah penampung. (Yayasan EcoNusa/Victor Fidelis)

Provinsi Maluku memiliki potensi perikanan yang amat besar. Hasil potensi perikanan Maluku mencapai 1,62 juta ton per tahun seperti dilansir dari kompas.com. Lebih dari dua puluh persen sumber daya ikan nasional berasal dari perairan Maluku. Selain itu, tiga dari sembilan wilayah pengelolaan perikanan (fishing ground) utama Indonesia berada di perairan Maluku, yaitu di Laut Banda, Laut Arafura, dan Laut Seram. Melihat potensi tersebut, pemerintah berencana untuk membangun Lumbung Ikan Nasional (LIN) Maluku.  

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Abdul Haris, menjelaskan bahwa  Maluku ditetapkan sebagai lokasi khusus LIN karena memenuhi beberapa kriteria. Antara lain, kawasannya mencakup lebih dari 2 wilayah pengelolaan perikanan  yang berada di 3 wilayah Maluku, memiliki potensi sumber daya ikan 37%, atau lebih dari 20% dari sumber daya ikan nasional yang ditetapkan sebagai batas minimal, kontribusi produksi perikanan Maluku mencapai 12,4%, atau 2 kali lipat dari minimal produksi perikanan nasional yang ditetapkan pemerintah sebesar 6%, dan memiliki daerah pelayanan produksi perikanan secara nasional. 

Pembangunan LIN di Maluku rencananya akan dimulai 2022 dan ditargetkan selesai tahun 2023. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan stok sumber daya ikan yang berkelanjutan, mewujudkan peningkatan ekonomi masyarakat, serta mewujudkan pengelolaan kelautan dan perikanan yang efektif dan efisien. Abdul Haris juga menambahkan, lahan seluas 700 hektar akan dibangun menjadi pusat LIN di Pulau Ambon. 

Baca juga: IUU Fishing Ancam Masa Depan Laut Indonesia

Demi menunjang pembangunan LIN, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah melakukan peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi dan birokrasi, serta transformasi ekonomi sebagai landasan kebijakan dari KKP. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Hendra Yusran Siry.

Hendra pun menjelaskan, sebagai bagian dari peningkatan SDM, KKP juga berfokus pada pengembangan SDM masyarakat hukum adat. “Target kita di tahun 2021 ini ada 8 komunitas adat yang akan kita mulai dari identifikasi dan pemetaan, pendampingan masyarakat, penguatan dan pemberdayaan, sampai kemandirian kelembagaan. Sehingga nanti masyarakat hukum adat tidak hanya hak hukum kelolanya saja yang diakui, namun juga mampu berdaya secara ekonomi,” ucap Hendra.

Di Maluku sebenarnya telah memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya laut melalui praktik adat sasi, yakni tradisi adat di Maluku berupa perintah larangan untuk mengambil hasil alam, baik hasil pertanian maupun hasil kelautan sebelum waktu yang ditentukan. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam agar  hasilnya dapat dinikmati  terus menerus, dapat dipanen bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja keras yang telah dilakukan. 

Eliza Kissya selaku kepala kewang Haruku berbicara mengenai pengalaman praktik sasi di Haruku dalam menjaga laut. “Apa yang dijaga di laut? Kita jaga agar orang tidak pakai bagan apung (alat tangkap ikan berupa bambu yang mengapung di tengah laut dan dipasang jaring). Dari zaman dulu tidak boleh ada bagan apung di negeri Haruku. Karena kalau bagan apung itu ada, maka kita tidak bisa menikmati buka sasi lompa. Padahal itu satu nilai jual besar untuk Haruku di mata dunia. Sekali panen bisa dapat 30-40 ton ikan lompa untuk dinikmati seluruh masyarakat hasilnya,” ucap Eli.

Baca juga: Eliza, Sang Penjaga Hutan dan Laut di Negeri Haruku

Menanggapi rencana LIN di Maluku, Guru Besar Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Universitas Pattimura, Agus Tupamahu, berpendapat, pengelolaan perikanan harus menjadi prioritas pemerintah. Perlu jaminan agar mortalitas akibat penangkapan ikan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan, tidak mengancam atau bahkan merusak kelestarian dan produktivitas populasi ikan. Diperlukan juga pengendalian agar penangkapan ikan yang dilakukan tidak menghabiskan populasi ikan di daerah tersebut. Hal itu ia sampaikan melalui diskusi virtual “Lumbung Ikan Nasional untuk Siapa?” yang diadakan EcoNusa pada Sabtu (30/01/2021)

Agus menekankan, pemerintah juga perlu meninjau kembali definisi perikanan skala kecil atau nelayan skala kecil dalam kaitannya dengan pengelolaan berkelanjutan. “Pemerintahan sebaiknya menetapkan ukuran kapal nelayan skala kecil di bawah 5 gross ton (GT), karena jika sampai dengan 10 GT bisa berbahaya. Mafia bisa memakai kesempatan ini untuk membuat armada sesuai dengan definisi nelayan skala kecil dan menguras habis sumber daya ikan karena tidak diwajibkan memiliki izin untuk nelayan skala kecil,” ucap Agus.

Pernyataan tersebut merujuk pada peraturan bahwa kapal penangkap ikan bagi nelayan skala kecil berukuran paling besar 10 GT. Peraturan yang berlaku saat ini juga menyatakan bahwa  nelayan skala kecil tidak diwajibkan memiliki surat perizinan.

Aktivis perempuan, Laila Dwitari Tuasikal, pun menambahkan bahwa keterlibatan stakeholder dalam Lumbung Ikan Nasional sangat dibutuhkan untuk memperkecil dampak kerusakan ekosistem laut yang terjadi akibat praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dan menyalahi aturan. “Setidaknya ada 5 elemen yang tidak dapat dipisahkan, yakni pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, asosiasi, dan pelaku non perikanan,” ujarnya.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved