Search
Close this search box.
EcoStory

Mempertahankan Harapan yang Tersisa di Gane Dalam

Bagikan Tulisan
Perkebunan kelapa sawit di Gane Dalam. (Dok. EcoNusa/Kei Miyamoto)

Tri Komando Rakyat (Trikora) menjadi  catatan penting sejarah bangsa Indonesia saat berjuang membebaskan Irian Barat dari kekuasaan Belanda pada 1961. Namun, tak banyak yang tahu bahwa Gane Dalam, sebuah desa di ujung selatan Pulau Halmahera, pernah menjadi pangkalan militer Indonesia saat itu. Desa ini menjadi saksi bisu atas perebutan kembali Kepulauan Maluku dan Tanah Papua ke tangan kedaulatan Indonesia.

Pada 24 Oktober 2020 lalu, tim Ekspedisi Maluku EcoNusa beserta rekan-rekan dari WALHI Maluku Utara dan PakaTiva bertemu dengan masyarakat Gane Dalam sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Ekspedisi Maluku Econusa. Saat tiba di dermaga, terdengar sayup-sayup suara musik. Ternyata, kedatangan tim disambut oleh mama-mama Gane Dalam yang menari Ronggenglala. “Ini cara kam berpesta,” ucap Calo, salah satu pemuda Desa Gane Dalam yang juga anggota WALHI Maluku Utara. Rona ceria jelas terlukis di wajah mama-mama penari dan masyarakat Gane Dalam lainnya. 

Tak bisa dibayangkan bahwa tujuh tahun lalu, wajah-wajah ceria ini dirundung duka dan air mata saat berjuang mempertahankan lahan kebun mereka dari sebuah perusahaan multinasional, PT. Korindo. Sebelum perusahaan ini hadir di Gane Dalam pada 2012, areal seluas 11.003,9 hektare di Gane Dalam dikelola oleh perusahaan penebangan kayu, PT. Gelora Mandiri Membangun (PT GMM). Aktivitas pembukaan lahan ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.22/Menhut-II/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Pada 2013, di pertengahan masa hak guna itu berlaku, saat kayu di Gane Dalam sudah habis ditebang, saham PT GMM diakuisisi oleh induknya, PT. Korindo, dan diubah menjadi perkebunan sawit.

Saat itu, masyarakat Gane Dalam menolak keras karena banyak lahan perkebunan mereka yang masuk ke dalam kawasan konsesi PT. Korindo tanpa sepengetahuan mereka. Lahan mereka digusur dan diratakan menggunakan alat-alat berat.

Baca juga: Catatan Perjalanan, Hutan-hutan Negeri Gani yang Habis “Dicukur”

Mama Yani, 70, adalah salah seorang perempuan asli Gane Dalam yang lahannya digusur dan direbut paksa oleh perusahaan. Mama Yani sampai rela tidur di bawah alat berat milik perusahaan demi mempertahankan kebun yang menjadi harapan satu-satunya untuk bertahan hidup dan menyejahterakan keluarganya. 

Sa pe anak cucu bisa kuliah dari hasil bekebong. Sekarang su tra bisa lagi, karena kebong sudah digusur. Jadi sekolahkan cucu harus satu-satu. Mama rasa sedih begitu. Hanya kebun itu kita punya harapan,” ungkapnya.

Dulu lahan dua hektare miliknya bisa memberikan panen tahunan dari kelapa, pala dan cengkeh. Selain itu, ada pula tanaman-tanaman yang dapat dipanen bulanan seperti ubi, pisang, dan sayur mayur. Bila hasil panen tahunannya dijual, Mama Yani bisa mendapat Rp. 60 juta – Rp. 70 juta sekali panen. Namun perusahaan hanya memberikan Rp. 25 juta sebagai ganti rugi lahan milik Mama Yani. Tentu ini tidak sebanding dengan apa yang bisa didapatkan bila kebun itu masih ada hingga sekarang.

Muhammad Konoras, warga Gane Dalam lainnya yang juga anggota Gerakan Perjuangan Penolak, bercerita tentang perjuangan masyarakat dalam memperjuangkan lahan mereka agar tidak dirampas oleh perusahaan pada 2013 lalu. Setidaknya ada 13 orang warga Gane Dalam yang dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara selama 60 hari. “Tuduhannya kita melawan perusahaan. Kita merampas hak-hak perusahaan. Itulah alasan perusahaan. Kita juga tra tau. Kita masyarakat berusaha sebatas kemampuan kita,” tutur Muhammad. Dia juga bercerita pada waktu krisis itu, WALHI Maluku Utara hadir dan memberikan pendampingan hukum serta advokasi untuk masyarakat di desa ini.

Dampak dari operasi perkebunan kelapa sawit tak hanya menyebabkan warga kehilangan lahan. Tanaman kelapa masyarakat pun habis dirusak hama kumbang kelapa. Akibatnya,  masyarakat mengalami gagal panen. Baru pada 2020 ini, tanaman kelapa mereka berhasil panen. Selain itu, penggunaan pestisida di perkebunan sawit yang berada di dataran yang lebih tinggi membuat tanaman lain di kebun masyarakat yang tersisa seperti pala dan cengkeh menjadi rusak dan juga gagal panen.

Bersatu Mengolah Hasil Panen dari Kebun yang Tersisa

Walaupun masyarakat tengah berada di kondisi memilukan, mereka tetap bertahan dengan mengolah kembali hasil panen dari kebun yang tersisa sambil menjaga potensi alam yang ada. Kelompok mama-mama Gane Dalam, Mo Det Hapso, mengolah kelapa dan pisang hasil kebunnya menjadi keripik pisang dan minyak goreng kelapa. Produk-produk tersebut kemudian dikemas dengan baik dan dijual ke Ternate. 

Nama “Mo Det Hapso” sendiri diambil dari bahasa Makean, salah satu bahasa lokal yang banyak digunakan di Gane Dalam. Artinya “mari kita bersatu”. Mereka bersatu dan berangkat dari semangat yang sama, yaitu untuk bertahan dan menjaga kesejahteraan keluarga dan desa.

Bahu Membahu Menjaga Ekosistem Mangrove 

Tak hanya para mama-mama, para pemuda lokal Gane Dalam juga saling bahu membahu menjaga alam mereka, meskipun hanya di wilayah yang masih tersisa secuil saja. Bergerak dalam satu nama, Komunitas Tanamera, mereka menjaga soki (istilah lokal untuk mangrove dengan akar tunjang). Keesokan harinya, 25 Oktober 2020, tim Ekspedisi Maluku EcoNusa bersama Komunitas Tanamera dan WALHI Maluku Utara melakukan penanaman 100 bibit soki di salah satu titik pesisir Gane Dalam.

Bibit mangrove dibawa oleh para pemuda untuk ditanam. (Dok. EcoNusa/Kei Miyamoto)

Hingga saat ini, warga Gane Dalam masih memanfaatkan ekosistem mangrove dalam kehidupan keseharian mereka. Kayu soki kerap diambil untuk dijadikan kayu bakar. Daunnya dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk perempuan di masa nifas (setelah melahirkan). Daun soki direbus, lalu air rebusannya diminum dan digunakan untuk mandi. Masyarakat percaya itu akan membuat badan perempuan itu lebih kuat dan tidak lemas.

Tim Ekspedisi Maluku EcoNusa sedang menanam mangrove di pesisir Gane Dalam. (Dok. EcoNusa/Kei Miyamoto)

Berdasarkan pengamatan di lapangan, setidaknya terdapat tiga jenis mangrove yang ada di area pesisir Gane Dalam, yaitu yang mereka sebut sokiatau Rhizophora sp dan Bruguiera gymnoryza, serta Soneratia sp, atau biasa mereka sebut tagalolo.

Ekosistem mangrove ini dijaga oleh para pemuda Gane Dalam. Mereka punya satu harapan, bahwa mangrove akan terus memberi manfaat bagi keseharian masyarakat dan wilayah mereka yang masih tersisa tetap lestari. 

Carmelita MamontoKoordinator Program SEI dan Penghubung Program Region Maluku

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved